Sebuah gambaran dari Nurbaya dan Samsu di Batavia, dari edisi asli pada
tahun 1922
Sitti Nurbaya
Sitti Nurbaya (juga
dieja Siti Nurbaya; disingkat menjadi Nurbaya) adalah salah satu protagonis
utama. Menurut penulis cerpen dan kritikus sastra Indonesia Muhammad Balfas, Nurbaya merupakan
tokoh yang dapat mengambil keputusan sendiri, sebagaimana terwujud ketika dia
memutuskan untuk menikah Datuk Meringgih ketika Meringgih mengancam ayahnya,
kesediaannya untuk mendorong Samsu, dan pelariannya dari Meringgih setelah
ayahnya meninggal. Dia juga cukup mandiri untuk pergi ke Batavia sendiri untuk
mencari Samsu. Tindakannya dianggap melanggar adat, dan ini akhirnya membuat dia diracuni.[5] Kecantikannya, sehingga disebut "bunga Padang", dianggap sebagai
wujud fisik dari hatinya yang baik dan beradab.[6]
Samsulbahri
Samsulbahri (juga dieja
Sjamsulbahri; disingkat menjadi Samsu) adalah protagonis pria utama. Dia
dinyatakan sebagai orang yang berkulit kuning langsat, dengan mata sehitam tinta; namun, dari jauh, dia dapat dikira orang
Belanda. Sifat fisik ini dijelaskan oleh Keith Foulcher, seorang dosen bahasa
dan sastra Indonesia di Universitas Sydney, sebagai wujud
sifatnya yang suka menjadi seperti orang Belanda.[7] Penampilannya yang menarik juga dianggap sebagai wujud sifatnya yang baik
dan beradab.[6]
Datuk Meringgih
Datuk Meringgih adalah
antagonis utama dari novel. Dia seorang pedagang yang dibesarkan di keluarga
yang miskin, lalu menjadi kaya setelah masuk ke dunia kriminal. Balfas
menyatakan bahwa dorongan utama Meringgih dalam cerita ialah rasa iri dan
keserakahan, sebab dia tidak dapat "menerima bahwa ada yang lebih kaya
daripada dia".[8] Balfas beranggapan bahwa Meringgih adalah tokoh yang "digambarkan
dengan hitam dan putih, tetapi mampu untuk menyebabkan konflik di
sekitarnya".[5] Menjelang akhir novel, Meringgih menjadi "pejuang pasukan
anti-kolonialis", didorong oleh keserakahannya; menurut Foulcher, gerakan
anti-kolonialis ini kemungkinan besar bukanlah usaha untuk memasukkan komentar
anti-Belanda.[9]